Latar Belakang
Islam Jawa dalam penyebarannya tidak
bisa luput dari peranan Wali Sanga. Wali Sanga meurut Wahyudi dan Khalid dalam Mistik
dan Makrifat Sunan Kalijaga, merupakan suatu lembaga dakwah Islam yang
beranggotakan 8 orang Wali yang digantikan secara periodik bila ada anggota
yang meninggal atau kembali ke negeri asalnya.[1] Sedangkan
dalam pemahaman masyarakat Jawa, istilah Wali Songo atau Sembilan Wali
dikaitkan dengan sekelompok penyiar agama di Jawa yang hidup dalam kesucian
sehingga memiliki kekuatan batin tinggi, berilmu kesaktian luar biasa, memiliki
ilmu jaya kawijayan, dan keramat.[2] di
dalam pemikiran masyarakat Jawa, angka Sembilan memang memiliki arti khusus,
seperti tampak dalam pandangan orang Jawa Kuno mengenai klasifikasi alam dunia
ini tidak ubahnya dengan angka delapan.[3]
1
|
keislaman itu sendiri. Para Wali membebaskan teori-teori, atau istilah-kistilah yang bagi masyarakat awam seringkali menjadi penghalang utama terhadap suatu pembaruan. Dalam Islam dikenal dengan istilah furuiyah (cabang) yang merupakan bagian dari pokok.
Para Wali melakukan asimilasi sosiokultural-religius
terhadap budaya yang ada, tidak mononton dan bervariasi. Nilai-nilai keIslaman
diajarkan berdasarkan kegemaran masyarakat, seperti wayang, syair, cerita,
tembang, upacara adat, dan lain sebagainya. Dalam usaha asimilasi-sinkretik,
para Wali menggunakan pendekatan sufistik. Hal tersebut dapat diketahui dengan
lahirnya sastra-sastra sufistik pasca-Wali Songo yang ditulis dalam bentuk
tembang, kidung, syair, suluk, dan hikayat. Dalam karya tersebut, Wali Sanga
memasukan paham wujudiyyah, tentang asal manusia dan tempat kembali
manusia, adanya konsep Manunggaling Kawula-Gusti, Pathenisme dan
Monisme dalam sastra suluk Jawa[4]
sebagai wujud pengenalan diri sendiri yang dengan begitu maka manusia dapat
mengenal Tuhannya (Allah SWT). Dengan begitu manusia secara otomatis membentuk
karakter dan pembiasaan laku hidup yang positif (penuh kebaikan).
Sastra menjadi media pengajaran
nilai-nilai keislaman (pendidikan) yang langgeng. Walaupun dalam proses
penyebarannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Akan tetapi nilai-nilai yang ada di dalam
karya sastra begitu meresap dalam setiap laku masyarakat, ngelmu iku
kalakone kanti laku. Dalam masa ini, pendidikan Indonesia sedang mengalami
krisis mental, dan krisis budi pekerti. Dalam sebuah riset yang dilakukan LSM Plan
International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang
dirilis awal Maret 2015 menunjukkan 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan
di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%[5].
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies
Baswedan, dalam Surat Kabar Harian Kompas, 30 Mei 2015, sebagaimana dikutip
Setyaningsih[6],
mendongeng dihadapan anak-anak sebagai resolusi membaca (Gerakan 10 Menit
Membacakan Cerita Untuk Anak). Mendogeng akan memunculkan tokoh imajiner yang
mampu menyapa kepribadian anak, melekat dalam pikirannya tentang tokoh yang
senantiasa berbuat kebaikan, dan menghelakan tokoh yang berkarakter buruk. Hal tersebut
mengamini bahwa sastra memberikan peran penting dalam penanaman karakter.
Dengan demikian, nilai-nilai akan merangsek dalam pribadi anak secara langgeng
dan terpelihara.
Salah satu Wali Songo yang dalam
penyebaran Islam menggunakan media seni dan sastra yaitu Sunan Bonang. Sunan
Bonang menciptakan alat musik Bonang yang berfungsi sebagai pengiring
pertunjukan wayang bersama dengan Gamelan. Sunan Bonang juga memasukan ricikan,
gajah, harimau, kuda, garuda, kereta perang, dan rampogan guna memperkaya
pertunjukan wayang. Dalam kesusastraan, Sunan Bonang, telah menggubah sejumlah
tengahan tembang macapat, yang termasyur adalah Kidung Bonang yang
disampaikan dalam Pupuh Durma yang berisikan semacam mantra untuk
menangkis segala macam penyakit dan pegaruh jahat yang merugikan[7].
Karya sastra yang cukup popular
karya Sunan Bonang adalah Suluk Wujil. Suluk Wujil merupakan karya sastra yang
ditulis pada masa peralihan zaman Hindu-Islam yang berisikan beberapa aspek
ajaran Islam. Seperti ajaran tentang Ketuhanan, perbuatan manusia itu terjadi
atas takdir Tuhan, manunggaling kawula Gusti, Syariat, budi pekerti,
tarekat, hakikat, dan makrifat.[8]
Suluk Wujil berisikan ajaran tasawuf
yang terdiri dari 102 bait mengisahkan tentang pengeran cebol dari Majapahit bernama
Wujil datang ke Pesantren Bonang yang merupakan bekas orang istana yang haus
akan kebenaran. Ia tidak puas dengan segala bentuk ajaran formal agama seperti
Hindu, Budha, dan alirannya. Dia telah mengembara kemana-mana untuk menemui
para pendeta, ulama, dan bhiksu, namun tidak menemukan apa yang dicarinya.
Di Bonang, Wujil diterima oleh sang
Wali (Ratu Wahdat) dan dikatakannya bahwa hakikat ajaran agama Hindu sebenarnya
sama dengan Islam, dan tujuan kedua agama ini sama. Hanya di dalam agama Hindu,
orang perlu bertapa di gunung dan menyiksa badan untuk memperoleh kelepasan dan
kesempurnaan. Sedangkan di dalam agama Islam, keselamatan jiwa dapat dilakukan
di tempat ramai, tanpa perlu menyiksa badan. Shalat lima kali sehari tidak
kurang manjurnya dalam memberikan pembersihan pada jiwa. Wujil kemudian diberi
pelajaran syariat, asas-asas akidah Islam, fiqh, dan tasawuf. Salah satu
baitnya adalah berikut:
Dan
warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing
sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat
Penenggrane
Sumungkem ameng
Lebu
Telapakan sang
Mahamuni
Sang Adhekeh
ing Benang,
Mangke atur
bendu
Sawetnya nedo
jinarwan
Sapratingkahing
agama kang sinelir
Teka ing
rahasya purba.[9]
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi sebagai berikut: “Tersebutlah
cerita seseorang bernama Wujil// Tengah berdatang sembah kepada Gurunya bernama
Ratu Wahdat// Bersujud Dia di tanah dekat kaki Sang Guru// Yang bertempat
tinggal di Desa Benang// Sebelumnya Ia meminta maaf// Atas tindakannya mengharap
ajaran Islam yang musykil// Hingga sedalam-dalamnya”[10].
[1] Achmad Chodim, Sunan Kalijaga
Mistik dan Makrifat,( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 11-12.
[2] Agus Sunyoto, Atlas Wali
Songo,( Depok: Pustaka Iman, 2014), hlm. 109.
[4] Agus Sunyoto, Atlas Wali
Songo,( Depok: Pustaka Iman, 2014), hlm. 125.
[5] Liputan 6,
“Survei ICRW 84 Anak Indonesia Alami Kekerasan Di Sekolah”, http://news.liputan6.com/read/2191106/survei-icrw-84-anak-indonesia-alami-kekerasan-di-sekolah diunduh 23 Mei 2016.
[6] Setyaningsih, Bermula Buku Berakhir Telepon, (Solo:
Jagad Abjad, 2016), hlm. 24.
[7] Dilihat dari isinya, Kidung
Bonang sama dengan Kidung Rumeksa ing Wengi karya Sunan Kalijaga. Berisikan doa
perlindungan dari kejahatan (manusia dan penyakit), ajaran akidah dan agama.
Lihat Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat,( Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2013), hlm. 40.
[8] Teguh Santoso, “Pribumisasi
Ajaran Islam dalam Suluk Wujil dan
Relevansinya terhadap Pendidikan Agama Islam (Telaah Terhadap Pemikiran Sunan
Bonang)”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Yogyakarta, Perpustakaan
UIN Sunan Kalijaga, 2015), hlm. 5, t.d.
[9] Purbatjaraka, Ajaran Rahasia
Sunan Bonang: Suluk Wujil, (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah, 1985), hlm. 55.
[10] Purbatjaraka, Ajaran …,(Jakarta:
Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1985), hlm. 15.
numpang promote ya min ^^
BalasHapusBosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*E*W*A*P*K
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)